Jumat, 08 November 2013

SISI LAIN SEPUTAR PENETAPAN UPAH MINIMUM



SISI LAIN SEPUTAR PENETAPAN UPAH MINIMUM

Beberapa hari terakhir Masyarakat Indonesia di-sibukan dengan berita seputar upah minimum, baik berupa aksi elemen buruh/pekerja sampai pernyataan sikap dari berbagai pemerintah daerah. Tidak ketinggalan berbagai ulasan termasuk kalangan akademisi yang berusaha mencermati dan mengamati sampai pada root-cause masalah tahunan ini muncul dan saya mencoba menyajikan sisi lain yang mungkin dapat digunakan sebagai kontemplasi bagi pemerintah, pengusaha, maupun buruh/pekerja serta seluruh pihak yang terkait.

Dari sudut pandang pemerintahan misalnya di Jawa Timur, saya mencermati ungkapan yang di-sampaikan oleh Saudara Hadi Subhan (Wakil Ketua dewan pengupahan Propinsi Jatim), bahwa baru kali ini ada Gubernur yang tidak melaksanakan perintah (baca : instruksi) dari Presiden. Selanjutnya di-sampaikan bahwa hal tersebut karena Inpres di-pandang bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003, karena di-sana istilah yang digunakan adalah UMP atau UMK. Selanjutnya di-kuatkan oleh komentar dari yang terhormat Bapak Wagub Jawa Timur yang menyampaikan juga bahwa Gubernur menolak penerapan Inpres tentang UMP karena memang bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003.

Dari sisi lain, baik sebagai orang yang berlatar pendidikan hukum maupun sebagai praktisi di bidang ketenagakerjaan, saya merasa aneh dengan pendapat Gubernur berikut jajarannya yang menyatakan menolak menerapkan Inpres karena dipandang melanggar UU No 13 Tahun 2003. Coba simak istilah “atau” digunakan sebagai suatu pilihan atau alternative, bukan kumulatif, artinya penolakan atau halusnya tidak menerapkan Inpres tersebut, semata-mata bukan karena Inpres tersebut melanggar UU No 13 Tahun 2003, karena Presiden menggunakan UMP dan hal tersebut juga masuk dalam kategori pilihan atau optional, harusnya pergunakanlah bahasa yang lebih membawa masyarakat kepada kepatuhan, misalnya tidak menerapkan Inpres tersebut, karena Inpres mengatur tentang UMP, sedangkan Jawa Timur menerapkan UMK, bukan alasan Inpres melanggar peraturan yang lebih tinggi, karena sampai tulisan ini saya buat, tidak ada judicial review  yang menyatakan  Inpres tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dari sudut pandang elemen buruh/pekerja, saya mencermati makna mengungkapkan pendapat di-muka umum atau unjuk rasa atau yang dikenal dengan demonstrasi yang memang merupakan hak asasi, termasuk hak asasi elemen buruh/pekerja sebagai warga negara. Yang patut di-garis bawahi, bahwa makna yang terkandung pada istilah demonstrasi sebagaimana di-atur dalam UU No 9 Tahun 1998 adalah dalam konteks penyampaian pendapat di-muka umum, bukan untuk “menekan” pihak lain, dalam hal ini pemerintah, agar kepentingan atau kemauan elemen buruh/pekerja di-kabulkan. Penggunaan istilah “mogok” nasional merupakan istilah yang sangat menyesatkan. Tidak ada di-atur istilah mogok nasional, karena istilah mogok hanya dikenal dalam UU No 13 Tahun 2003 sebagai akibat gagalnya perundingan antara pengusaha dengan buruh/pekerja atau serikat buruh/serikat pekerja di-perusahaan tersebut, jadi memang ada unsur menekan agar kepentingan buruh/pekerja dapat diterima pengusaha, dan itu di-ijinkan sebagai hak buruh/pekerja, tetapi sekali lagi hal dan istilah mogok tersebut hanya digunakan secara internal perusahaan. Yang dilakukan akhir-akhir ini dari elemen buruh/pekerja, merupakan demonstrasi dan bukanlah mogok, sehingga unsur “penekanan” agar keinginan atau halusnya aspirasi tersebut tidaklah tepat salurannya.

Pemerintah dan aparat keamanan dalam pelaksanaan demonstrasi elemen buruh/pekerja harus menjamin kelancaran, keamanan maupun keselamatan dari peserta demonstrasi, tetapi juga harus tegas apabila demonstrasi sudah melanggar peraturan perundang-undangan, misalnya sudah melanggar hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai. Bila terjadi, maka UU No 9 Tahun 1998 menyatakan demonstrasi dapat di-bubarkan. Sayang sekali kejadian sweeping yang memaksa buruh/pekerja yang bekerja agar ikut demonstrasi tidak di-ambil langkah tegas, minimal aksi “oknum” elemen buruh/pekerja yang melakukan sweeping dapat  di-ambil tindakan sebagaimana seharusnya. Saya menggunakan istilah “oknum” karena yakin sebagian besar peserta demonstrasi melakukan aksinya dengan damai tanpa mengganggu pihak lain.

Dari sudut pandang pengusaha saya menyampaikan pendapat bahwa sudah waktunya menata pengelolaan/management remunerasi  agar terkait langsung dengan ketrampilan, pendidikan, pelatihan, pengalaman maupun bobot pekerjaan atau tanggung jawab serta produktifitas buruh/pekerja. Istilah pay for performance, pay for position, serta pay for person tidak hanya dikenal sebagai teori semata, tetapi diwujudkan dalam kebijakan penggajian.

Sebagai praktisi di pengelolaan sumber daya manusia, saya melihat langsung tidak banyak perusahaan yang mempunyai standar kompetensi maupun standar kinerja, sehingga bagaimana mungkin membuat kebijakan pengupahan yang memberikan perbedaan pada buruh/pekerja yang memberikan kontribusi berbeda ? Berapa banyak perusahaan yang perhatian pada pelatihan untuk buruh/pekerja ? Bila tidak mempunyai training matrix serta training plan, bagaimana buruh/pekerja dapat meningkatkan kompetensi mereka ? Bagaimana mereka dapat dihargai lebih bila kemampuan mereka tidak teridentifikasi ?

Pertanyaan yang lain, berapa banyak perusahaan yang sudah mempunyai golongan upah ? Berapa banyak perusahaan yang sudah mempunyai struktur dan skala upah ? Bagaimana perusahaan dapat menjamin adanya keadilan atau kesetaraan dalam pemberian upah bagi buruh/pekerjanya sesuai dengan bobot pekerjaannya ?

Pekerjaan rumah terkait dengan pengelolaan/management  pengupahan secara integral tadi sebenarnya masih asing bagi kebanyakan perusahaan di Indonesia, dan saya sangat menyarankan hal ini tidak saja menjadi pekerjaan rumah bagi pengusaha, tetapi pemerintah juga harus mendorong dan memberi sarana agar perusahaan mampu menata pengelolaan terkait pengupahan agar dapat di-terapkan. Ini adalah langkah antisipatif strategis, tidak sekedar langkah reaktif tahunan saja. Rekan-rekan elemen buruh/pekerja-pun dapat berperan aktif dengan memperjuangkan kualitas buruh/pekerja, tidak sekedar “berkeringat” untuk demo, tetapi berkeringat meningkatkan kualitas dirinya.

Tanpa kualitas diri yang meningkat, mustahil produktifitas dapat di-tingkatkan !