SISI LAIN SEPUTAR PENETAPAN
UPAH MINIMUM
Beberapa hari terakhir Masyarakat Indonesia di-sibukan dengan
berita seputar upah minimum, baik berupa aksi elemen buruh/pekerja sampai
pernyataan sikap dari berbagai pemerintah daerah. Tidak ketinggalan berbagai
ulasan termasuk kalangan akademisi yang berusaha mencermati dan mengamati
sampai pada root-cause masalah
tahunan ini muncul dan saya mencoba menyajikan sisi lain yang mungkin dapat
digunakan sebagai kontemplasi bagi pemerintah, pengusaha, maupun buruh/pekerja
serta seluruh pihak yang terkait.
Dari sudut pandang pemerintahan misalnya di Jawa Timur, saya mencermati
ungkapan yang di-sampaikan oleh Saudara Hadi Subhan (Wakil Ketua dewan
pengupahan Propinsi Jatim), bahwa baru kali ini ada Gubernur yang tidak
melaksanakan perintah (baca : instruksi) dari Presiden. Selanjutnya
di-sampaikan bahwa hal tersebut karena Inpres di-pandang bertentangan dengan UU
No 13 Tahun 2003, karena di-sana istilah yang digunakan adalah UMP atau UMK.
Selanjutnya di-kuatkan oleh komentar dari yang terhormat Bapak Wagub Jawa Timur
yang menyampaikan juga bahwa Gubernur menolak penerapan Inpres tentang UMP
karena memang bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003.
Dari sisi lain, baik sebagai orang yang berlatar pendidikan hukum
maupun sebagai praktisi di bidang ketenagakerjaan, saya merasa aneh dengan
pendapat Gubernur berikut jajarannya yang menyatakan menolak menerapkan Inpres
karena dipandang melanggar UU No 13 Tahun 2003. Coba simak istilah “atau”
digunakan sebagai suatu pilihan atau alternative, bukan kumulatif, artinya
penolakan atau halusnya tidak menerapkan Inpres tersebut, semata-mata bukan
karena Inpres tersebut melanggar UU No 13 Tahun 2003, karena Presiden
menggunakan UMP dan hal tersebut juga masuk dalam kategori pilihan atau optional, harusnya pergunakanlah bahasa
yang lebih membawa masyarakat kepada kepatuhan, misalnya tidak menerapkan
Inpres tersebut, karena Inpres mengatur tentang UMP, sedangkan Jawa Timur
menerapkan UMK, bukan alasan Inpres melanggar peraturan yang lebih tinggi,
karena sampai tulisan ini saya buat, tidak ada judicial review yang
menyatakan Inpres tersebut bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dari sudut pandang elemen buruh/pekerja, saya mencermati
makna mengungkapkan pendapat di-muka umum atau unjuk rasa atau yang dikenal
dengan demonstrasi yang memang merupakan hak asasi, termasuk hak asasi elemen
buruh/pekerja sebagai warga negara. Yang patut di-garis bawahi, bahwa makna
yang terkandung pada istilah demonstrasi sebagaimana di-atur dalam UU No 9
Tahun 1998 adalah dalam konteks penyampaian pendapat di-muka umum, bukan untuk
“menekan” pihak lain, dalam hal ini pemerintah, agar kepentingan atau kemauan
elemen buruh/pekerja di-kabulkan. Penggunaan istilah “mogok” nasional merupakan
istilah yang sangat menyesatkan. Tidak ada di-atur istilah mogok nasional,
karena istilah mogok hanya dikenal dalam UU No 13 Tahun 2003 sebagai akibat
gagalnya perundingan antara pengusaha dengan buruh/pekerja atau serikat
buruh/serikat pekerja di-perusahaan tersebut, jadi memang ada unsur menekan
agar kepentingan buruh/pekerja dapat diterima pengusaha, dan itu di-ijinkan
sebagai hak buruh/pekerja, tetapi sekali lagi hal dan istilah mogok tersebut
hanya digunakan secara internal perusahaan. Yang dilakukan akhir-akhir ini dari
elemen buruh/pekerja, merupakan demonstrasi dan bukanlah mogok, sehingga unsur
“penekanan” agar keinginan atau halusnya aspirasi tersebut tidaklah tepat
salurannya.
Pemerintah dan aparat keamanan dalam pelaksanaan demonstrasi
elemen buruh/pekerja harus menjamin kelancaran, keamanan maupun keselamatan
dari peserta demonstrasi, tetapi juga harus tegas apabila demonstrasi sudah
melanggar peraturan perundang-undangan, misalnya sudah melanggar hak dan
kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai. Bila terjadi, maka UU
No 9 Tahun 1998 menyatakan demonstrasi dapat di-bubarkan. Sayang sekali
kejadian sweeping yang memaksa
buruh/pekerja yang bekerja agar ikut demonstrasi tidak di-ambil langkah tegas,
minimal aksi “oknum” elemen buruh/pekerja yang melakukan sweeping dapat di-ambil
tindakan sebagaimana seharusnya. Saya menggunakan istilah “oknum” karena yakin
sebagian besar peserta demonstrasi melakukan aksinya dengan damai tanpa
mengganggu pihak lain.
Dari sudut pandang pengusaha saya menyampaikan pendapat bahwa
sudah waktunya menata pengelolaan/management
remunerasi agar terkait langsung dengan
ketrampilan, pendidikan, pelatihan, pengalaman maupun bobot pekerjaan atau
tanggung jawab serta produktifitas buruh/pekerja. Istilah pay for performance, pay for position, serta pay for person tidak hanya dikenal sebagai teori semata, tetapi
diwujudkan dalam kebijakan penggajian.
Sebagai praktisi di pengelolaan sumber daya manusia, saya
melihat langsung tidak banyak perusahaan yang mempunyai standar kompetensi
maupun standar kinerja, sehingga bagaimana mungkin membuat kebijakan pengupahan
yang memberikan perbedaan pada buruh/pekerja yang memberikan kontribusi berbeda
? Berapa banyak perusahaan yang perhatian pada pelatihan untuk buruh/pekerja ?
Bila tidak mempunyai training matrix serta training plan, bagaimana buruh/pekerja
dapat meningkatkan kompetensi mereka ? Bagaimana mereka dapat dihargai lebih
bila kemampuan mereka tidak teridentifikasi ?
Pertanyaan yang lain, berapa banyak perusahaan yang sudah mempunyai
golongan upah ? Berapa banyak perusahaan yang sudah mempunyai struktur dan
skala upah ? Bagaimana perusahaan dapat menjamin adanya keadilan atau
kesetaraan dalam pemberian upah bagi buruh/pekerjanya sesuai dengan bobot
pekerjaannya ?
Pekerjaan rumah terkait dengan pengelolaan/management pengupahan secara integral tadi sebenarnya
masih asing bagi kebanyakan perusahaan di Indonesia, dan saya sangat
menyarankan hal ini tidak saja menjadi pekerjaan rumah bagi pengusaha, tetapi
pemerintah juga harus mendorong dan memberi sarana agar perusahaan mampu menata
pengelolaan terkait pengupahan agar dapat di-terapkan. Ini adalah langkah
antisipatif strategis, tidak sekedar langkah reaktif tahunan saja. Rekan-rekan
elemen buruh/pekerja-pun dapat berperan aktif dengan memperjuangkan kualitas
buruh/pekerja, tidak sekedar “berkeringat” untuk demo, tetapi berkeringat
meningkatkan kualitas dirinya.
Tanpa kualitas diri yang meningkat, mustahil produktifitas
dapat di-tingkatkan !